Slide # 1

Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan 2019

Foto Bersama Keluarga Besar Prodi Pendidikan Kimia Bersama Mahasiswa Baru dan Panitia PBAK 2019 Read More

Slide # 2

Family Gathering Chemistry16

Kebersamaan Keluarga Prodi Pendidikan Kimia dengan Leting 2016 Read More

Slide # 3

Pelantikan UKM ALAC Prodi Pendidikan Kimia

Peresmian UKM Sanggar Seni Kimia (SSK) dan Chemistri Language Club (CLC) Read More

Slide # 4

Pelantikan HMP Pendidikan Kimia 2018-2019

Pembukaan dan Penutupan Pelantikan DImeriahkan oleh Sanggar Seni Kimia Read More

Slide # 5

KOMINFO SQUAD

Penanggungjawab Semua Media Pendidikan Kimia Read More

Selasa, 02 Januari 2018

 IDENTIFIKASI ANTALGIN DALAM JAMU PEGAL LINU SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Oleh :

Muhammad Aziz Al-Ghifary & Muliono Saragih


I.  JUDUL PERCOBAAN         : IDENTIFIKASI ANTALGIN DALAM  JAMU PEGAL LINU       SECARA   KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
II. TANGGAL PERCOBAAN : 21 November 2016

1.      LATAR BELAKANG

      1.1  Definisi Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
     Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu teknik pemisahan yang sederhana yang sering dan paling banyak digunakan, metode ini menggunakan  empeng kaca atau lembaran plastik yang ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan cuplikan pada kempeng kaca, pada dasarnya menggunakan mikro pipet atau pipa kapiler. Setelah itu, bagian bawah dari lempeng dicelup dalam larutan pengelusi di dalam wadah yang tertutup.KLT merupakan contoh dari kromatografi adsorpsi.Fase diam berupa padatan dan fase geraknya dapat berupa cairan dan gas.  Zat terlarut yang diadsorpsi oleh permukaan partikel padat. (Soebagio, 2002:145)
          Menurut Gandjar dkk (2007:79) bahwa Kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun selulosa. Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam Fasa gerak yang digunakan dalam KLT sering disebut dengan eluen.Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh.
         Menurut Roy J (1991:64) menyatakan bahwa Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben inert. KLT merupakan salah satu jenis kromatografianalitik. KLT sering digunakan untuk identifikasi awal, karena banyak keuntungan menggunakan KLT, di antaranya adalah sederhana dan murah. KLT termasuk dalam kategori kromatografi planar, selain kromatografi kertas.
        Berdasarkan definisi diatas maka Kromatografi Lapis Tipis (KLT)  merupakan Suatu teknik pemisahan yang sederhana. Dalam Kromatografi Lapis Tipis (KLT) menggunakan fase diam berupa plat dengan bahan lapisan adsorben seperti silika gel. Kemudian fase gerak yang digunakan dalam KLT sering disebut dengan eluen. Pemilihan eluen ini berdasarkan pada polaritas senyawa. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Faktor Retensi (Rf).

     1.2  Mengapa perlu dilakukan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)?
       Untuk dapat menentukan banyaknya komponen senyawa, dan mengidentifikasi senyawa, kemudian menentukan efektifitas pemurniaan, serta memantau berawalnya suatu reaksi untuk mendapatkan data kualitatif, kuantitatif, dan Preparative perlu dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis. (Waston, 2010:74)

      1.3  Penelitian Terdahulu Tentang Kromatografi Lapis Tipis
   Penelitian menggunakan  kromatografi lapis tipis (KLT) pernah dilakukan oleh Subiyandono (2005: 6) Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa ada atau tidaknya bahan kimia obat antalgin yang ditambahkan pada jamu pegal linu. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis. Plat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) di siapkan dengan mengaktifkan plat KLT dioven pada suhu 1050 C kemudian diberikan garis dengan pensil dengan jarak 2 m dari tepi atas dan 3 cm dari tepi bawah. Kemudian diberi skala masing-masing 2 cm untuk tempat penontolan larutan sampel. Dalam penelitian ini dilakukan terhadap 7 sampel jamu pegal linu. Dalam metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT), untuk mengidentifikasi antalgin dalam jamu pegal linu dapat diamati pada kromatogram berdasarkan perbandingan harga Rf masing-masing sampel dengan harga Rf baku pembanding.
   Hasil penelitian yang didapatkan adalah menunjukkan bahwa pada kromatogram didapatkan noda bercak dari setiap sampel maupun baku pembanding. Terdapat beberapa sampel yang jumlah bercak nodanya lebih dari satu yaitu sampel S1, S3,S5, dan S6. Selain sampel tersebut baku pembanding II juga memberikan dua bercak noda. Timbulnya bercak noda karena adanya bahan kimia yang tekandung di dalam sampel tersebut. Selanjutnya sampel tersebut dilakukan perhitungan harga Rf sehingga dapat dikatakan bahwa sampel S3 positif mengandung antalgin, sedangkan sampel S1,S2,S4,S5,S6 danS7 tidak mengandung antalgin karena perbedaan harga Rf dengan baku pembanding I maupun Pembanding II.
   Penelitian lain yang menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) juga pernah dilakukan oleh  Auliando Syadawi (2012:30). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa apakah terkandung parasetamol, metampiron, atau fenilbutazon dalam jamu pegal linu yang beredar dikota Padang. Metode identifikasi ini menggunakan pereaksi warna, kromatografi lapis tipis, dan spektrofotometri UV. Senyawa analgetik yang diperiksa meliputi parasetamol, metampiron, dan fenilbutazon. Proses ekstraksi parasetamol dan metampiron dalam sampel menggunakan pelarut etanol, sedangkan ekstraksi fenilbutazon menggunakan pelarut kloroform. Analisis dengan kromatografi lapis tipis menggunakan silika gel GF254 sebagai fase diam, metanol : kloroform (90 : 10) sebagai fase gerak parasetamol, metanol : kloroform : asam asetat 20 % (3:7:0,5) sebagai fase gerak metampiron, dan aseton : kloroform : eter (40 : 35 : 25) sebagai fase gerak fenilbutazon. Analisis menggunakan spektrofotometri UV, parasetamol diukur pada panjang gelombang serapan maksimum yaitu 243,5 nm, metampiron 233,6 nm, dan fenilbutazon 242 nm. Hasil penelitian menujukkan bahwa dari 5 sampel jamu, 2 sampel yang mengandung parasetamol, 4 sampel yang mengandung metampiron, dan 3 sampel yang mengandung fenilbutazon.
    Penelitian tentang Jamu pegal linu dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis juga pernah dilakukan oleh Soraya Riyanti  (2013: 45). Penelitian ini merupakan survey yang bersifat deskriptif. Objek penelitian adalah lima merk pegal linu yang diperoleh dari beberapa toko jamu yang beredar di daerah cimahi. Pengujian kualitias jamu pegal linu meliputi parameter, spesifik, non spesifik dan pemeriksaan lain, sedangkan untuk mengidentifikasi bahan kimia obat dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis. Dari lima merk jamu yang dianalisis, empat sampel memenuhi persyaratan kualitas, sedangkan satu sampel tidak memenuhi karena tidak mencamtumkan nomor kode prosuksi dan bahkan mengandung bahan kimia obat berupa Metampiron.
          Berdasarkan dari beberapa penelitian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menganalisis beberapa senyawa dalam jamu pegal linu bisa dilakukan dengan metode Kromatografi Lapis Tipis. Fase gerak pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat digunakan beberapa pelarut. Pelarut yang digunakan merupakan senyawa yang mudah menguap dan bersifat nonpolar, contohnya Kloroform, Metanol asam asetat dan lain sebagainya. Sedangkan Fase diam yang digunakan pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT) pada umumnya berupa plat. Plat yang biasa digunakan pada metode KLT ini berupa plat silika gel. Setelah melakukan analisa terdapat beberapa jenis Jamu Pegal Linu yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Namun ada juga jenis-jenis pegal linu yang tidak mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Pada umumnya dalam jamu Pegal linu banyak mengandung senyawa analgetik.

2.      TUJUAN PERCOBAAN
    Adapun tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan antalgin pada jamu pegal linu.

3.      TINJAUAN PUSTAKA
      3.1  Obat Tradisional
    Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sedian galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Permenkes RI No.007 Tahun 2002)
   Penggunaan tanaman obat sebagai bahan untuk mengobati penyakit dapat menjadi alternatif yang relatif murah dibandingkan dengan obat kimia. Oleh sebab itu, karena kepraktisan dan murahnya, popularitas obat tradisional semakin melambung (Duryatmo, 2003:42)
   Berdasarkan bukti empiris tentang pemanfaatan tanaman obat, maka penggunaan tanaman obat sebagai obat tradisional terbukti relatif aman. Penggunaan secara benar jarang sekali menimbulkan efek samping sebagaimana tercermin dari anggapan masyarakat bahwa obat tradisional merupakan obat yang aman tanpa efek samping. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar karena dapat terjadi bahwa obat tradisional menjadi tidak aman karena beberapa penyebab, diantaranya adalah pencampuran dengan bahan kimia (Handayani, 2001:140)
   Hal ini didukung pula dengan adanya hasil operasi pengawasan dan Pengujian Laboratorium Badan POM pada periode 2016, dimana Badan POM musnahkan 7,3 Miliar Rupiah Obat Tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). Produk yang dimusnahkan merupakan hasil temuan Operasi Storm VII disalah satu pabrik di Parung Bogor. Sebanyak 245.570 kemasan obat Tradisional mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) Fenilbutazon, Sildenafilsitrat, Paracetamol, bahan baku dan bahan kemasan.
   Pencampuran dengan bahan kimia dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan khasiat tertentu dari Obat Tradisional. Penggunaan Obat Tradisional yang dapat diperoleh secara bebas, dosis yang tidak standar akan menyebabkan konsumsi bahan kimia tercampur tidak terkontrol. Hal tersebut dapat menyebabkan efek samping baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek ( Handayani, 2001 : 142).
    Penambahan Bahan kimia dalam Obat Tradisional bertentangan dengan Peraturan Mentri Kesehatan RI No.007/Menkes/per/2012 pasal 7 yang menyatakan Obat Tradisional dilarang mengandung bahan kimia yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat.
      3.2 Antalgin
        Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgenik) Turunan NSAID, atau Non-Steroidal anti inflammatory drugs. Umumnya Obat anti inflamasi (anti pembekakan) dan beberapa jenis obat golongan ini memiliki pula sifat antipiretik (penurun panas), sehingga dikatagorikan sebagai analgetik-antipiretik. Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan analgetik ringan. Contoh obat yang berbeda di golongan ini adalah parasetamol. Tetapi Antalgin lebih banyak sifat analgetiknya (Tjay dan Rahardja, 2007:193)
   Antalgin merupakan salah satu bahan kimia obat yang cenderung ditambahkan dalam obat tradisional atau jamu diantaranya jamu pegal linu. Dimana diketahui bahwa antalgin berkhasiat penghilang rasa sakit dan antipiretik atau penurun panas. Penggunaan antalgin dalam dosis yang tidak terkontrol dapat menimbulkan efek samping bahkan gangguan kesehatan antara lain perdarahan lambung, jantung berdebar, kerusakan organ hati dan lain-lain. Hal ini telah bertentangan dengan Peraturan Mentri Kesehatan RI No.007/Menkes/per/2012 pasal 7 yang menyatakan bahwa Obat Tradisional dilarang mengandung bahan kimia yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat dan melanggar Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 serta Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, karena dalam hal ini kesehatan masyarakat telah diabaikan oleh produsen jamu.
3.3 Prinsip Kromatografi Lapis Tipis
    Pada dasarnya KLT digunakan untuk memisahkan komponen-komponen berdasarkan perbedaan adsorpsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang/eluen yang digunakan. KLT sangat mirip dengan kromatografi kertas, terutama pada cara pelaksanaannya. Perbedaan nyata terlihat pada fase diamnya atau media pemisahnya, yakni digunakan lapisan tipis adsorben sebagai pengganti kertas. Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis, terjadi hubungan kesetimbangan antara fase diam dan fasa gerak, dimana ada interaksi antara permukaan fase diam dengan gugus fungsi senyawa organik yang akan diidentifikasi yang telah berinteraksi dengan fasa geraknya. Kesetimbangan ini dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : kepolaran fase diam, kepolaran fase gerak, serta kepolaran dan ukuran molekul. (Watson, 2010:76)    
    Pada proses pemisahan dengan kromatografi lapis tipis, terjadi hubungan kesetimbangan antara fase diam dan fase gerak, dimana ada interaksi antara permukaan fase diam dengan gugus fungsi senyawa organik yang akan diidentifikasi yang telah berinteraksi dengan fasa geraknya. Kesetimbangan ini dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : kepolaran fase diam, kepolaran fase gerak, serta kepolaran dan ukuran molekul.
    Pada kromatografi lapis tipis, eluent adalah fase gerak yang berperan penting pada proses elusi bagi larutan umpan (feed) untuk melewati fase diam (adsorbent). Interaksi antara adsorbent dengan eluent sangat menentukan terjadinya pemisahan komponen. Oleh sebab itu pemisahan komponen secara  kromatografi dipengaruhi oleh laju alir eluent  dan jumlah umpan. Eluent dapat digolongkan menurut ukuran kekuatan teradsorpsinya pelarut atau campuran pelarut tersebut pada adsorben dan dalam hal ini yang banyak digunakan adalah jenis  adsorben alumina atau sebuah lapis tipis silika. Suatu pelarut yang bersifat larutan relatif polar, dapat mengusir pelarut yang tak polar dari ikatannya dengan alumina (gel silika). Semakin dekat kepolaran antara senyawa dengan eluen maka senyawa akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Hal ini berdasarkan prinsip “like dissolved like”. (Roy J, 1991:67).
 3.4  Faktor Retensi (Rf)
 Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh eluen. Rumus faktor retensi adalah:
 Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasi senyawa. Bila identifikasi nilai Rf memiliki nilai yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan, bila nilai Rfnya berbeda senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang berbeda (Soebagio, 2002:145).
4.      ALAT DAN BAHAN
      4.1  Alat
No
Nama Alat
Ukuran
Jumlah
Gambar
1
Timbangan Analitik
-
1
2
Gelas Ukur
100 mL
1
`3
Pipet Tetes
-
1
4
Gelas Kimia
100 mL
3
5
Kaca Arloji
-
1
6
Pipet Kapiler
-
3
7
Spatula
-
1
 8  
Lumping dan Alu
-
1
9
Plat KLT
-
1
10
Reagen
-
1
4.2  Bahan
No
Nama Bahan
Ukuran
Gambar
Keterangan
1
Antalgin
0,5 gram
-
2
Jamu Pegal Linu
7 gram
-
3
Beras Kencur
7 gram
-
4
Metanol
20 mL
Oxidizing
5
Etil Asetat
2 mL
Korosif
6
Aquadest
75 mL
-
5.      PROSEDUR KERJA DAN PENGAMATAN
No
Prosedur Kerja
Pengamatan
Reaksi Perhitungan
1
Sebanyak 7 gram jamu beras kencur ditimbang (sampel I)
Dik: Jarak Eluen   = 3,5 cm
Jarak Sampel I
=0,1 cm
Rf1 =
      =
      = 0,028 cm
2
Sebanyak 7 gram jamu pegal linu ditimbang (sampel II)
Dik: Jarak Eluen
=3,5 cm
Jarak sampel II
=1 cm
Rf2 =
      =
      = 0,28 cm
3
Digerus antalgin (baku pembanding) kemudian ditimbang sebanyak 0,5 gram
Dik : Jarak Eluen
=3,5 cm
Jarak pembanding
=1cm
 Rf   =
      =
      = 0,28 cm
4
Dimasukan bahan kedalam gelas kimia
5
Sampel I dan II ditambahkan 75 ml aquades dan 2 mL methanol
6
Antalgin ditambahkan 20 mL methanol.
7
Masing-masing bahan diaduk sampai larut
8
Masing-masing larutan ditotolkan pada plat KLT yang telah diberi garis pembatas.
9
Plat KLT dimasukan kedalam beker gelas yang telah berisi larutan eluen (methanol, aquadest dan etil asetat
4:5:1).
10
Plat KLT dikeringkan dan diamati larutan eluen yang naik dengan menggunakan sinar UV
6.       PEMBAHASAN
         Percobaan ini dilakukan terhadap 2 sampel jamu yaitu jamu beras kuncur dan jamu pegal linu. Sampel-sampel tersebut diidentifikasi menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis. Dalam metode Kromatografi Lapis Tipis, untuk mengidentifikasi antalgin dalam jamu pegal linu dapat diamati pada kromatogram berdasarkan perbandingan Nilai Rf masing-masing sampel dengan Nilai Rf baku pembanding. Dimana harga Rf didapat dari perbandingan antara jarak tempuh komponen dengan jarak tempuh eluen. Dalam percobaan ini pertama kali dilakukan adalah menyediakan 2 sampel jamu yaitu  jamu beras kencur (Sampel I)  dan jamu pegal linu (Sampel II)  serta baku pembanding yaitu Antalgin. Selanjutnya dibuat larutaun sampel dengan cara menimbangkan 7 gram jamu beras kencur (Sampel I) dan Jamu pegal Linu (Sampel II) yang kemudian dituangkan ke dalam gelas kimia. Kemudian Sampel I dan Sampel II ditambahkan 75 mL aquadest dan diaduk sampai melarut. Setelah melarut Sampel I dan Sampel II tersebut ditambahkan 2 mL metanol dan didiamkan. Setelah pembuatan larutan sampel I dan Sampel II selanjutnya dibuat larutan baku pembanding (Antalgin). Pembuatan larutan baku pembanding dilakukan dengan cara ditimbang antalgin yang telah digerus sebanyak  0,5 gram yang kemudian dituangkan ke dalam gelas kimia. Selanjutnya ditambahkan 20 mL metanol dan diaduk sampai larut. Setelah melakukan pembuatan larutan sampel dan larutan baku pembanding, selanjutnya membuat larutan eluen. Cara membuatnya yaitu dengan menggabungkan metanol, aquadest dan etil asetat yang memiliki perbandingan 4:5:1 yang dimasukkan kedalam reagen yang tertutup. Setelah melakukan pembuatan larutan sampel I dan sampel II, larutan baku pembanding dan eluen selanjutnya larutan sampel I, sampel II dan Larutan baku pembanding ditotolkan pada plat KLT yang sudah diberikan batas garis. Setelah di totolkan kemudian plat KLT dimasukkan kedalam reagen yang tertutup dan didiam hingga larutan eluen naik ke Plat KLT. Selanjutnya setelah larutan eluen didiamkan kemudian plat KLT dilihat dengan menggunakan lampu UV.
         Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan terhadap 2 sampel Jamu yaitu jamu beras kencur dan jamu pegal linu  dengan cara Kromatografi Lapis Tipis yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan antalgin pada jamu pegal linu, maka didapatkan data sebagai berikut :
No
Nama
Jarak tempuh komponen
(cm)
Jarak tempuh eluen
(cm)
Nilai Rf
Hasil
1.
Antalgin (Baku Pembanding)
1
3,5
0,28
+
2.
Jamu Beras Kencur (Sampel I)
0,1
3,5
0,028
-
 3.
Jamu pegal Linu (Sampel II)
1
3,5
0,28
+
Keterangan :
+   = mengandung Bahan Kimia Obat Antalgin
-    = tidak mengandung Bahan Kimia Obat Antalgin
   Hasil data menunjukkan bahwa Nilai Rf Jamu pegal linu (sampel II) sama dengan nilai Rf Baku pembanding sedangkan pada jamu Beras Kencur (sampel I) nilai Rfnya tidak sama dengan nilai Rf baku pembanding. Ini menandakan bahwa pada jamu Pegal linu tedapat Bahan Kimia Obat (BKO) yaitu Antalgin.
   Nilai Rf dapat dijadikan bukti dalam mengidentifikasi senyawa. Bila identifikasi nilai Rf memiliki nilai yang sama maka senyawa tersebut dapat dikatakan memiliki karakteristik yang sama atau mirip. Sedangkan, bila nilai Rfnya berbeda senyawa tersebut dapat dikatakan merupakan senyawa yang berbeda (Soebagio, 2002:145).
   Hasil percobaan identifikasi Antalgin dalam Jamu pegal Linu secara Kromatografi Lapis Tipis sama dengan hasil penelitian dari Subiyandono (2005: 6) dimana dalam jurnal tersebut peneliti mendapatkan satu sampel yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO)  dari tujuh sampel jamu pegal linu yang ditelitin  yaitu Antalgin. Dimana sampel tersebut mempunyai nilai Rf yang sama dengan nilai Rf baku pembanding yaitu 0,75. Karena nilai Rf sampel dengan baku pembanding sama maka sampel tersebut mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) Antalgin. Sedangan dalam percobaan ini mendapatkan satu sampel jamu pegal linu yang mengandung Bahan Kimia Obat (BKO)dari dua sampel yang dilakukan dalam percobaan. Dimana sampel tersebut mempunyai nilai Rf yang sama dengan baku pembanding yaitu 0,28 cm, sehingga bisa dikatakan dalam sampel tersebut mengandung antalgin. Hal ini telah bertentangan dengan Peraturan Mentri Kesehatan RI No.007/Menkes/per/2012 pasal 7 yang menyatakan bahwa Obat Tradisional dilarang mengandung bahan kimia yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat.
7.      PENUTUP
      7.1  Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada  jamu pegal linu terdapat Bahan Kimia Obat (BKO) yaitu Antalgin dan hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI tahun 2012.
      7.2 Saran
Berdasarkan pratikum yang telah dilakukan pratikan  menyarankan :
7.2.1    Agar dilakukan identifikasi terhadap jenis jamu lain yang diduga mengandung Bahan Kimia Obat Seperti Parasetamol.
7.2.2    Dilakukan percobaan lebih lanjut untuk analisa Bahan Kimia Obat (BKO) yang tekandung dalam jamu pegal Linu dengan menggunkan metode HPLC.
8.   DAFTAR PUSTAKA
Syadawi, A. (2012). Identifikasi beberapa Senyawa Analgentik dalam jamu pegal linu yang beredar di kota  Padang. Skripsi. Farmasi. Universitas andalas. Indonesia.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia Public Warning tentang Obat Tradisional Mengandung bahan Kimia Obat Http://www.pom.go.id. Diakses 27 November 2016.
Duryatno, S. (2003). Aneka Ramuan Berkhasiat dati Temu-Temuan. Jakarta : Puspa swara.
Gandjar, I. G., Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Handayani, L. (2001). Pemamfaatan Obat Tradisional dalam Menangani Masalah Kesehatan. Majalah Kedokteran Indonesia.
Permenkes No. 007. (2002). Registrasi Obat Tradisional.
Roy, J. (1991). Pengantar Kromatografi. Bandung : ITB.
Soebagio. (2002). Kimia Analitik. Makasar : Universitas Negeri Makasar.
Soraya, R., Ratnawati, J., dan Sutardi, O. I. (2013). Pemantauan Kualitas Jamu Pegal Linu Yang Beredar di Kota Cimahi. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol 01. No.01. Hal. 45-48.
Subiyandono. (2005). Identifikasi Antalgin Dalam Jamu Pegal Linu Yang Beredar Di Palembang Secara Kromatografi Lapis Tipis. Jurnal Farmasi Poltekkes Depkes. Vol. 06, No. 07. Hal. 4-8.
Rahardja, K., dan Tjay, T. H. (2007). Obat penting Khasiat, penggunaan , dan efek-efek sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun (1992). Tentang Kesehatan. Jakarta : PT. CV. Eko Jaya.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 tahun (1999). Tentang Perlindungan kondumen. Jakarta: PT.CV.Eko Jaya.
Waston, D. G. (2010). Analisis Farmasi. Jakarta : Buku Kedokteran.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Semngat trus bro