ANEKA PENDEKATAN DALAM STUDI AGAMA
Nova Safrida
Fitri Arnita
Rizvita
Salma Hayati S.Ag, M.ed
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang pendekatan-pendekatan
dalam mengkaji agama. Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan.
Hal demikian perlu dilakukan karena pendekatan tersebut secara fungsional dapat
dirasakan oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan
teologis, antropologis, feminis, psikologis, filosofis, fenomenologis, dan
sosiologis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnyadigunakan dalam
memahami agama.
Kata kunci: Teologis,
Antropologis, Feminis, psikologis, Filosofis,
Fenomenologis dan Sosiologis.
A.
Pendahuluan
Islam adalah salah satu ajaran yang diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad Saw melalui perantaraan Malaikat Jibril. Pada dasarnya islam
bukan hanya sekedar agama namun ada beberapa aspek lain yang mempengaruhi
seperti kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Untuk memahami berbagai dimensi ajaran
islam diperlukan berbagai pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu.
Berkenaan dengan pemikiran ini, maka kita perlu mengetahui dengan
jelas pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami ilmu agama. Hal
ini perlu dilakukan karena melalui pendekatan tersebut kehadiran agama secara
fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Tanpa mengetahui berbagai macam
pendekatan tersebut agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, karena tidak
fungsional dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain
agama dan hal ini tidak boleh terjadi. Dengan demikian hal ini sangat menarik
untuk dikaji agar dapat mengetahui pendekatan apa saja yang digunakan untuk
mengkaji islam.
B.
Aneka
Pendekatan dalam Studi Agama
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Berbagai
pendekatan itu antara lain :
1.
Pendekatan Teologis
Teologis memiliki arti hal-hal yang berkaitan dengan aspek ketuhanan.
Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi tidak bisa tidak pasti mengacu kepada
agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi
yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa
sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada
bentuk pemikiran teologis.[1]
Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan
teologi Kristen-Katolik, teologi Kristen Protestan dan begitu seterusnya. Dalam
islam sendiri, secara tradisional,dapat dijumpai teologi Mu’tazilah, teologi
Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya terdapat pulateologi yang bernama
Khawarij dan Murji’ah.[2]
Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nars, dalam era komteporer ini ada 4 prototipe
pemikiran keagamaan islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis
mesianis,dan tradisionalis.[3]
Dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan
adalah pendekatan yang menekankan dalam bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang
lainnya salah. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak
terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan
(eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Amin Abdullah mengatakan bahwa pendekatan teologis semata-mata
tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini.
Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran
satu komunitas masyarakat tertentu. Saat ini muncul apa yang disebut dengan
istilah teologis masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami
penghayatan imannya atau penghayatan agamanya. Sikap kritis ditujukan
pertama-tama pada agamnya sendiri dan kepada situasi yang dihadapinya.
Keagamaan seseorang tanpa adanya pendekatan teologis, akan mudah cair dan tidak
jelas identitasnya.
Sejarah membuktikan bahwa kerasnya berontrokan yang terjadi antara
satu aliran teologi dengan satu aliran lainnya berawal dari politik kemudian
timbul perpecahan yang kemudian memperoleh pembenaran teologis dan normatif,
yakni ajaran yang diyakini paling benar. Munculnya tindakan kekerasan yang
terjadi satu aliran teologi dengan aliran lain mereka menyebukan ini kebenaran
suci antaran lain: mewujudkan prinsip keadilan, kemanusian, kebersamaan,
kemitraan, saling menolong dan sebagainya.[4]
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan teologis
dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir
yang diyakini benar dan mutlak adanya, yang berasal dari Tuhan sudah pasti
benar. Sedangkan melalui pendekatan teologis normatif sseorang akan memiliki
sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang teguh kepada agama yang
diyakininya adalah benar, tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya.
2.
Pendekatan
sosiologis
Sosiologi merupakan sebuah kajian ilmu yang berkaitan dengan aspek
hubungan sosial manusia antara yang satu dengan yang lain, atau antara kelompok
yang satu dengan kelompok yang lain. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan
maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-persekatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang
memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan
hidup manusia.[5]
Sementara menurut soerjano soekanto, sosiologi merupakan suatu ilmu pengetahuan
yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke
arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang
menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.[6]
Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu
ilmu yang menggambatkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur,
lapisan serta sebagai gejala sosial lainnya yang saling berikatan. Dalam agama
islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa
jadi penguasa di Mesir.[7]
Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula
dipahami maksudnya. Disinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam
memahami ajaran agama.
Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya
mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami
agamanya. Dalam bukunya berjudul Islam alternatif, Jalaluddin Rahmat telah
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini islam terhadap
masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut;
1. Dalam Alquran
atau kitab-kitab hadits proporsi terbesar kedua sumber hukum islam itu
berkenaan dengan urusan muamalah. Dalam kitab Al-Hukumah Al-Islamiyah
dikemukkakan bahwa, perbandingan antara ayat-ayat ibadah dan ayat-ayat yang
menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding seratus. Artinya untuk satu
ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
2. Adanya
kenyataan bahwa jika urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah
yang pentingn, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan
ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
3. Bahwa bahwa
ibadah mengandung segin kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada
ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu salat yang dilakukan secara
berjamaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada salat yang sikerjakan
sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh derajat.
4. Dalam islam
terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal,
karena melanggr pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Bila puasa tidak
mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam
bentuk memberi makan bagi orang miskin.
5. Dalam islam
terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran
lebih besar daripada ibadah sunnah.[8]
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan
mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam
alquran misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusian
dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran
suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan.
3.
Pendekatan
Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti
cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu filsafat dapat pula
berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta
berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[9]
Pengertian filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang ddikemukakan
Sidi Gazalba. Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik,
radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau
hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.[10]
Dari definisi diatas dapat diketahui Bahwa filsafat pada intinya
berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di
balik objek formanya. Louis O. Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan
ialah merenung, tetapi merenung bukanlah melamun, juga bukan berpikir secara
kebetulan yang bersifat untung-untungan, melainkan dilakukan secara mendalam,
radikal, sistematik, dan universal.[11]
Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa hingga dicari sampai batas diamana
akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai ke akar-akarnya hingga tidak
ada lagi yang tersisa. Sistematik maksudnya adalah dilakukan secara teratur
dengan menggunakan metode berpikir tertentu dan uniiversal maksudnya tidak
dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk
seluruhnya.
Demikian pula dengan kita membaca sejarah nabi terdahulu. Maksudmya
bukan sekedar menjadi tontonan atau sekedar mengenangnya, tetapi bersamaan
dengan itu diperlakukan kemampuan menangkap makna filosofis yang terkandung di
belakang peristiwa tersebut. Dengan menggunakan pendekatan filosofis, seseorang
akan dapat memberi makna terhadap sesuatu yang dijumpainya, dan dapat pula
menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian
ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan
spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna
filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap,
penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan
akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis
dalam memahami ajaran agamanya. Namun, pendekatan seperti ini masih belum
diterima secara merata terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang
cenderung memahami agama terbatas pada ketepatan melaksankan aturan-aturan
formalistik dari pengalaman agama.[12]
4.
Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai
salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik kegamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak
akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya
menjelaskan dan memberikan jawaban.Penelitian antropologis yang induktif dan
grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya
dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang ada
padanya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan
lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga
memberi sumbangan kepada penilitian historis.[13]
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara ke percayaan
agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Karl Max (1818-1883), sebagai contoh,
melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga
mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan
teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa di salah fungsikan oleh
kalangan tertentu untuk melestarikan status qou peran tokoh-tokoh agama yang
mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen.[14]
Selanjutnya melalui pendekatan antropologis, kita dapat melihat
agama dalam hubungannya dengan mekanisme pengorganisasian (social organization)
juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Geertz
melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim di Jawa, antara
santri, priyayi dana abangan. Sungguhpun hasil penilitian antropologis di Jawa
Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun
kontruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir
ulang untuk mengecek keabsahannya.[15]
Melalui pendekatan antropologis fenomologis ini kita juga dapat
melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Selanjutnya,
melalui pendekatan antropologis ini juga dapat ditemukan keterkaitan agama
dengan psikoterapi. Melaui pendekatan antropologis sebagaimana tersebutterlihat
dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan
dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena
kehidupan manusia.
Dalam Alquran Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran islam misalnya
kita meperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul
Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam dalam gua lebih dari tiga ratus tahun
lamanya. Di mana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu., di mana kira-kira gua
itu, dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menajubkan itu, ataukah hal yang
demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh lain yang hanya
dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi. Dengan demikian,
pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena
dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan
lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.
5.
Pendekatan
fenomenologis
Pendekatan Femenologis adalah suatu
metode kajian agama yang ditandai dengan
upaya mencari struktur agama yang dapat diperbandingkan sehingga tidak
menyalahi pemahaman orang-orang beriman itu sendiri.Tujuan femenologi ialah
memahami kepercayaan termasuk tafsir yang paling kontroversial dalam tradisi.
Fenomenologi adalah sebuah arus pemikiran dalamfilsafat, dan aliran ini kini
boleh dikatakan selalu dihubungkan dengan tokohutamanya, Edmund Husserl.3
Meskipun demikian, istilah “fenomenologi”(phenomenology) sebenarnya tidak
berawal dari Edmund Husserl, karenaistilah ini sudah sering muncul dalam wacana
filsafat semenjak tahun 1765,dan juga kadang-kadang muncul dalam karya-karya
dari ahli filsafatImmanuel Kant. Dalam wacana tersebut makna istilah fenomenologi
memang masih belum dirumuskan secara khusus dan eskplisit. Maknakata
“fenomenologi” baru menjadi semakin jelas setelah Hegel merumuskannya. Hegel mendefinisikan
fenomenologi sebagai “pengetahuan sebagaimana pengetahuantersebut tampil atau
hadir terhadap kesadaran” (“knowledge as itappears to consciousness”). Selain
itu fenomenologi juga dapat diartikan sebagai “ilmu pengetahuan tentang
penggambaran apa yang dilihat oleh seseorang,apa yang dirasakan dan
diketahuinya.Penekanan pada proses penggambaran ini membawa kita kepada upaya
mengungkapkan “phenomenal consciousness” (kesadaran fenomenal, kesadaran
mengenai fenomena) melalui ilmu pengetahuan dan filsafat, menuju ke “the
absolute knowledge of the absolute.”[16]
6.
Pendekatan
Psikologis
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu
yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat dimatinya.[17]
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap
batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai
orang yang saleh, berbuat baik dan jujur. Semua itu adalah gejala kejiwaan yang
berkaitan dengan agama. Dengan ilmu jiwa seseorang akan mengetahui tingkat
keagamaan yang dihayatinya, dipahami dan diamalkan sebagai alat untuk
memasukkan agama kedalam jiwa seseorang. Misalnya kita dapat mengetahui
pengaruh dari shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah lain dengan melalui ilmu
jiwa. Dengan pengetahuan ini kita dapat
menyusun langkah-langkah baru yang lebih efisien dalam menanamkan ajaran islam.
Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk
menanamkannya.
7.
Pendekatan
Feminis
Feminisme berasal dari kata Feminism (Inggris) yang berarti gerakan
wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan
pria.Pengertian feminisme juga dikemukakan oleh Kutha Ratna, feminisme secara
etimologis berasal dari kata famme (woman), yang berarti perempuan (tunggal)
yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai
kelas sosial.[18]
Pendekatan feminis terutama “menyambungkan prinsip dari perjuangan
feminis” dari kalangan ras, dan budaya yang berbeda-beda. Kelompok feminis
mungkin saja bisa dari kalangan ras yang sama, namun persfektif mereka melihat
permasalahan perempuan dan kepentingan yang mereka perjuangkan bisa saja
berbeda. Kita tidak bisa melihat penampilan seseorang dari luar dan langsung
menyatakan bahwa ia adalah seorang feminis, karena tidak semua feminis
akan memakai seragam yang sama, apalagi
mementingkan nilai-nilai dan melihat perspektif yang sama. Contohnya perempuan
tidak bisa disamakan karena keserangaman pengalaman, ras, kelas, budaya, namun
mereka pasti memiliki pandangan yang berbeda mengenai ideologi feminis.
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat
perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta drajat
laki-laki.Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencangkup
berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama
dengan yang dimiliki laki-laki.
DAFTAR
PUSTAKA
Sharpe, Eric J. 1986. Comparative Religion of History.
London: Duckworth.
Nasutio, Harun. 1978.Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: UI
Presscet.
Nata, Abuddin. 2010. Metode Studi Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Shadily, Hassan Shadily. 1983.Sosiologi
untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Soekanto, Soerjano. 1982.Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.
Omar Mohammad Al-Toumy al-Syaibani. 1979.Falsafah Pendidikan Islam(terj). Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah.Jakarta:
Bulan Bintang.
Gazalba, Sidi. 19670. Sistematika
Filsafah Jilid 1.Jakarta: Bulan Bintang.
Kattson, Louis O. 1989. Pengantar Filsafat (terj.) Soejono Soemargono dari
judul asli Elements of Philosopby. Yoyagkarta: Tiara Wacana.
Rahardjo, M. Dawam. 1990.Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
[1] Eric J. Sharpe,
Comparative Religion of History, (London:Duckworth, 1986), hlm. 313.
[2]Harun Nasution,
Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press, 1978), cet. I, hlm. 32.
[3]Abuddin Nata, Metode
Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), cet.XVII, hlm. 29.
[4]Ibid, hlm. 34.
[5]Hassan Shadily,
Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia,
(Jakarta: Bina Aksara, 1983), cet.IX,hlm. 1.
[6]Soerjano
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,
(Jakarta: CV Rajawali, 1982), cet. I, hlm. 18 dan 53.
[7]Ibid, hlm. 39.
[8]Ibid, hlm.
40-41.
[9]Omar Mohammad
Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan
Islam, (terj). Hasan Langgulung dari judul asli Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
cet. I, hlm. 25.
[10]Sidi Gazalba,
Sistematika Filsafat, Jilid 1, (Jakarta: Bulan Bintang 19670, cet. II, hlm.
15.
[11]Louis O.
Kattson, Pengantar Filsafat, (terj.)
Soejono Soemargono, dari judul asli Elements
of Philosopby, (Yoyagkarta: Tiara Wacana Yogya, 1989), cet. IV, hlm.6.
[12]Ibid, hlm. 46.
[13]M. Dawam
Rahardjo, “Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan” dalam M. Taufik
Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi
Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), cet. II, hlm. 19.
[14]Ibid, hlm. 36.
[15]Ibid, hlm.37.
[17]ibid, hlm. 50.
0 komentar:
Posting Komentar