Contoh Artikel Ilmiah
SUMBER AJARAN
ISLAM
Rafi Mariska
Dian Salwa
Salma Hayati S.Ag, M.Ed
Abstrak
Islam memiliki sumber ajaran yang terjamin kebenarannya. Alquran
merupakan sumber utama Islam. Sumber ini yang akan menjaga kesakralan Islam. Alquran turun 14 abad yang lalu, tapi
kehebatannya masih tidak terdandingi hingga sekarang, bahkan ilmuan sekalipun mengakui kebenaran dan kehebatan Alquran. Alquran memiliki
kemampuan balaghah (diksi) yang
sangat tinggi, sehingga tidak bisa ditafsirkan sesuka hati. Oleh karena itu, Alquran
membutuhkan hadis untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat
sehingga akan melahirkan hukum yang baru. Seiring berkembangnya zaman, manusia memiliki banyak
persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan Alquran dan hadis
saja, seperti contoh hukum mengikuti KB (Keluarga
Berencana), bayi tabung dan sebagainya. Oleh karena itu,
para ulama sepakat mencurahkan segala kemampuannya untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan baru yang
belum terselesaikan di dalam Alquran dan hadis, sehingga lahirlah sumber hukum
baru yang lebih dikenal dengan
istilah Ijtihad Ulama.
Kata-kata kunci :
sumber
ajaran, hadis, sumber hukum Islam, Alquran, Ijtihad, Sunnah
A.
PENDAHULUAN
Assunnah |
B.
SUMBER-SUMBER
AJARAN ISLAM
Seperti yang kita ketahui bersama,
Islam memiliki sumber-sumber ajaran. Sumber-sumber ajaran tersebut adalah Alquran,
Hadis dan Ijtihad. Sumber-sumber ajaran tersebut akan kami jelaskan di bawah
ini.
a.
Alquran
sebagai Sumber Ajaran
Alquran adalah kalam (perkataan) Allah swt. yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril yang berfungsi sebagai sumber petunjuk
bagi manusia. Alquran sama
sekali tidak
ada keraguan padanya.[1] Alquran
mengatur tentang segala permasalahan yang ada di bumi, baik perkara ibadah
maupun perkara keduniaan. Alquran adalah sumber utama ajaran Islam, sebagaimana
firman Allah swt. “Wahai orang-orang yang
beriman, ikutilah Allah (Alquran) dan rasulNya (hadis) tentang pemimpin kamu,
apabila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (masalah), maka kembalilah kamu
kepada Allah (Alquran) dan rasul (hadis)…” (Q.S An-nisa[4]: 59). Ayat ini
menjadi dasar bahwa Alquran merupakan sumber ajaran Islam yang pertama.[2] Oleh
karena itu, setiap muslim wajib mengimani Alquran sebagai sumber ajaran agama
yang utama dan pertama.
Sebagai
sumber ajaran utama Islam, Alquran memuat pokok-pokok permasalahan menyangkut tentang kebutuhan umat manusia.
Allah swt. tidak melupakan sedikitpun hal-hal yang dibutuhkan manusia di dalam Alquran
(Q.S Al-An’am [6]: 38). Alquran menjelaskan dasar-dasar hukum secara terperinci
dalam lapangan akidah,
tapi dalam lapangan ibadat dan mu’amalah
hanya diberikan petunjuk-petunjuknya secara garis besar.[3]
Kedudukan Alquran sebagai sumber ajaran Islam
Alquran memiliki kedudukan sebagai
sumber hukum pertama[4],
artinya bila seseorang ingin mencari ketetapan hukum, maka langkah pertama yang
harus di tempuh ialah mencari jawaban penyelesaian di Alquran. Karena
kedudukannya sebagai sumber hukum Islam pertama, maka sumber hukum Islam yang
lain, seperti hadis dan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Alquran.[5]
Selanjutnya dilihat dari kejelasan makna
ayat-ayat, maka ayat-ayat Alquran dapat dikategorikan kepada dua, yaitu
ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat ialah ayat-ayat dengan makna
jelas dan langsung sehingga tidak butuh penafsiran dari hadis, sedangkan ayat-ayat
muhkamat ialah ayat-ayat yang belum
jelas, samar, ambigu, atau memiliki makna lain sehingga butuh penafsiran yang jelas
dari hadis.[6]
Dalam Alquran maupun hadis terdapat banyak kata-kata musytarak, mutaradif, ‘Aam, muthlaq, mujmal dan zhahir sehingga ayat tersebut
membutuhkan penafsiran yang lebih detail dari ulama.[7]
Berdasarkan
kepada hal tersebut, penjelasan Alquran terhadap hukum dapat terlihat beberapa
cara, yaitu; pertama, secara terperinci, Alquran memberikan penjelasan
yang sempurna kepada umat Islam dan tidak akan memberikan pemahaman yang lain,
sehingga tidak perlu penjelasan dari hadis.
Seperti
hukum faraid, hukuman pezina, tata cara wudu. Kedua, penjelasan Alquran
terhadap hukum agama masih keuniversalan, sehingga membutuhkan penjelasan dari hadis.
Seperti contoh : dalam surat An-nisa[4]:
43, kata-kata ٵۏﻻﻣﺴﺘﻣ
berarti
menyentuh tangan atau bersetubuh; perintah untuk melaksanakan shalat, perintah
ini masih umum, belum ada tatacara shalat, maka kedudukan hadis ialah sebagai
penjelas terhadap Alquran. Dan ketiga, menjelaskan penjelasan terhadap
apa yang secara lahir disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat,
tetapi juga memberikan pengertian secara isyarat.
Kedudukan Alquran sebagai mukjizat
Selain sebagai sumber ajaran, Alquran
juga sebagai mukjizat. Secara etimologis, mukjizat berasal dari kata Arab (I’jaz) yang berarti “membuat suatu hal
luar biasa yang berada diluar kesanggupan manusia biasa untuk memperbuatnya”.[8] Sedangkan
menurut istilah, mukjizat adalah kejadian yang luar biasa yang hanya diberikan
kepada nabi dan rasul Allah. Al-baqillah mengatakan bahwa di atas mukjizat Alquran
lah kenabian Muhammad saw. ditegakkan. Sekalipun ada mukjizat-mukjizat lain
selain Alquran, tapi semua itu berlaku bahkan ada yang khusus untuk suatu kasus
tertentu. Justru itu, mukjizat Alquran terkait sangat erat dengan kerasulan
Nabi Muhammad saw., dan keraguan terhadapnya akan membawa keraguan pula
terhadap keraguan Muhammad itu sendiri.[9]
Nama-Nama lain dari
Alquran
Alquran
juga memiliki nama-nama lain. Jika dilihat dari penamaannya, ada beberapa nama Alqurran
yang biasa disebut sebagai nama-nama lain dari Alquran, yaitu : al-bayyinah (petunjuk), al-furqan (pembeda), al-kitab (kitab), adz-zikir (pemberi peringatan), al-huda
(pemberi petunjuk), al-hukum
(peraturan), al-hikmah
(kebijaksanaan), al-mau’idhah
(nasihat), Asy-syifa’ (penyembuh), al-bayan (penerang), al-kalam (perkataan), an-nur (cahaya), dan al-basha’ir (pedoman).[10]
b.
As-sunnah sebagai sumber ajaran
Menurut bahasa (lughah) sunnah bermakna
jalan yang dijalani, baik terpuji ataupun tidak. Suatu tradisi yang sudah
dibiasakan, dinamakan sunnah,
walaupun tidak baik.[11] Sunnah menurut pendapat muhadditsin (ahli-ahli hadis) ialah
segala yang dinukilkan dari Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir[12],
pengajaran, sifat, perilaku, perjalanan hidup Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul, mapun
sesudahnya. Sedangkan menurut Ulama Ahli Ushul
Fiqh, sunnah adalah segala yang
dinukilkan dari Nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir yang berkaitan dengan hukum. Assunnah merupakan sumber syariah Islam
yang nomor dua dan tidak ragu lagi dan menduduki tempat kedua (sesudah Quran
suci). Sunnah berarti perilaku atau
aturan, sedangkan makna aslinya ucapan
yang disampaikan kepada manusia, baik dengan perantaraan, pendengaran maupun
dengan perantaraan wahyu.[13] merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran[14].
Hadis ditinjau dari segi kualitas
rawi yang meriwayatkannya, terbagi ke dalam tiga macam, yaitu hadis sahih, hadis hasan dan hadis dhaif.[15]
Hadis Sahih, yaitu hadis yang diriwayatkan
oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan,
sanadnya tidak bersambung, tidak ber-’illat
serta tidak janggal/mungkar. Hadis Hasan,
ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang adil, tetapi tidak begitu kuat
ingatannya, sanadnya bersambung, tidak ber’ilat
serta tidak janggal. Serta hadis dha’if,
ialah hadis yang kehilangan satu atau beberapa syarat sahih.
Selain itu, juga mengandung tiga bagian penting yang
perlu dipertimbangkan, yaitu; Rawi yaitu orang yang menerima suatu dan menyampaikan atau menuliskan hadis
tersebut dalam sebuah kitab. Misalnya : Bukhari, Muslim, An-Nasai, Abu Dawud,
Tirmizi dsb. Matan yaitu materi (isi) dari suatu , baik perkataan, perbuataan
atau pembiaran Nabi Saw. atas perbuatan sahabat serta Sanad yaitu rangkaian
rawi yang dapat menghubungkan matan
sehingga sampai kepada nabi Muhammad saw. Hal-hal ini sangat perlu
dilihat karena juga dapat dijadikan
landasan pengambilan hukum sekiranya hukum tidak didapati secara jelas di dalam
Alquran.
Fungsi-Fungsi Hadis
Sebagai sumber ajaran Islam, maka hadis memiliki fungsi-fungsi:
1.
Menetapkan dan menguatkan hukum-hukum
yang sudah ditetapkan oleh Alquran. Misalnya kewajiban berpuasa jika melihat
bulan (Q.s Al-Baqarah [2]: 185), lalu dikuatkan dengan yang disampaikan oleh Abu Al-husain Muslim
bin Al-Hajjaj al-Qusyairi yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda
bahwa “Berpuasalah jika kamu melihat
bulan; dan berbukalah jika kamu melihatnya”.[16]
2.
Merinci dan menafsirkan ayat Alquran
yang masih global (bayan tafsil),
membatasi ayat Alquran masih mutlak/umum (bayan
taqyid) dan mengkhususkan ayat Alquran yang masih umum (bayan takhshish). Misalnya perintah
salat dan zakat itu bersifat global (Q.S Al-baqarah [2]: 43) sehingga
dirincikan dalam hadis, seperti adanya tatacara, waktu-waktu pelaksanaan,
syarat sah salat dan zakat, dan sebagainya.[17]
3.
Menetapkan hukum yang belum ditetapkan
oleh Alquran, misalnya; larangan berpoligami bagi seseorang terhadap seorang
wanita dengan bibinya,[18]
seperti yang artinya “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu)
seorang wanita dengan ‘amma (saudari bapak)nya dan seorang wanita dengan khalah
(saudari ibu)nya” (H.R Bukhari Muslim); larangan mengawini seorang wanita yang bersaudara
sepersusuan karena dia dianggap mahram senasab. Dalam sabdanya “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah
mengharamkannya karena senasab” (H.R: Bukhari dan Muslim).
Perbedaan
antara Alquran dan Assunnah
Setelah sedikit membahas tentang Alquran dan sunnah sebagai sumber ajaran dan hukum
Islam, maka di antara keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan antara Alquran dengan As-sunnah
adalah:
1.
Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya, sedangkan As-sunnah relatif. Tidak ada satu
pun yang bisa menyalahkan kebenaran (isi) Alquran, sekalipun mutawatir. Seperti dikutip dari oleh A.Hassan
kitab Al-Muwaa-faqaat, disebutkan “Apa yang dikatakan datang daripadaku[19],
maka hendaknya kamu uji dia di kitab Allah[20]
seandainya sesuai dengan kitab Allah, maka aku telah sabdakan dia, karena
bagaimanakah aku berani menyalahi kitab Allah sedangkan dengan kitab itu Allah
memberi petunjuk kepadaku” (Al-Muwaa-faqaat karangan Assysyaa-thibi jz. 4
halaman 9).
2.
Semua ayat Alquran bisa dijadikan
pedoman hidup, sebaliknya tidak semua hadis bisa dijadikan pedoman hidup.
Melihat kepada sejarah dan perkembangan hadis [21] banyak
terjadinya pelanggaran, seperti adanya hadis
maudhu’ (palsu) dan hadis mungkar.
Hal ini dikarenakan setelah Rasulullah saw. wafat, sedikit demi sedikit Islam
mulai kembali ke masa jahiliyah dan banyaknya pendusta, seperti contoh hadis
palsu yang artinya “Terong adalah obat
segala penyakit”[22].
3.
Alquran sudah terjamin kebenarannya dan akan terpelihara sampai hari kiamat.[23]
Berdasarkan uraian di atas, maka Penerimaan seorang muslim terhadap Alquran hendaknya didasarkan
pada keyakinan yang kuat, sedangkan penerimaan seorang muslim terhadap as-Sunnah harus didasarkan atas
keragu-raguan (dugaan-dugaan) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada
Nabi, tetapi ragu apakah hadis itu
benar-benar berasal dari nabi atau tidak karena adanya proses sejarah
kodifikasi hadis
yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan
terhadap Alquran.
Kedudukan
as-sunnah terhadap Alquran
Para Ulama Islam telah menetapkan bahwa hadis Rasul menjadi hujjah (alasan
hukum) dalam agama Islam disamping alasan yang pertama, baik tentang
menghalalkan atau mengharamkan.
Firman Allah SWT. Dalam Q.s Al-Hasyr [15] : 7 berbunyi:
ومااتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهو
“Hendaklah kamu ambil (ikut) sesuatu yang dibawa oleh Rasul kepadamu dan
hendaklah kamu jauhi sesuatu yang dilarang”
Ayat ini juga menjelaskan bahwa sunnah
Nabi menjadi hujjah kedua dalam
menetapkan hukum syara.[24]
c.
Ijtihad
sebagai sumber hukum
Secara bahasa ijtihad berarti sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Alquran maupun dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan yang matang.[25]
Pada dasarnya, semua umat Islam berhak
melakukan ijtihad, sepanjang ia menguasai Alquran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan menguasai
berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama
yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil ijtihad mereka
dikenal sebagai fatwa. Jika ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau
kolektif, maka hasilnya disebut ijma’ atau kesepakatan.
Dasar
Hukum diperbolehkan Berijtihad
Dasar hukum diperbolehkan berijtihad
ialah hadis Rasulullah saw. yang berdialog dengan
Mu’az bin Jabal ketika diutus ke Yunan yang diriwayatkan oleh Tirmidhi dan Abu
Daud dalam sebuah dialog“Bagaimana cara
kamu memutuskan perkara yang dibawa orang kepada kamu?” Muaz menjawab, “Hamba putuskan
dengan yang terdapat dalam Kitabullah (Alquran)” Nabi bertanya lagi, “Dan jika tidak
mendapati (hukum) dalam Kitabullah?” Mu’az menjawab”Saya putuskan dengan sunnah
Rasulullah”, Nabi pun bertanya lagi, “Jika kamu tidak menjumpai dalam Sunnah
dan tidak juga dalam Al-Kitab?” Mu’az menjawab, “Saya akan berijtihad dengan
pikiran saya dan saya tidak akan lengah, “Kemudian Rasulullah menepuk dadanya
dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah member taufik kepada utusan
Rasul Allah…”[26]
Bahkan nabi pernah memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk memberi keputusan
terhadap suatu perkara, padahal beliau sendiri ada dihadapan Amr. Atas perintah
itu sahabat bertanya “Apakah saya akan
berijtihad sedang engkau berada di sini? Nabi menjawab, “Ya, jika kamu benar
maka mendapatkan dua pahala, dan jika kamu salah kamu akan mendapat satu
pahala.”[27]
Dalam hal penggunaan potensi akal
dalam kehidupan beragama, mujtahid
merupakan tingkatan tertinggi, di bawahnya adalah muttabi’ dan muqallid. Muttabi’ artinya mengikuti fatwa atau ijma’
secara kritis, yakni berusaha memikirkan, menimbang-nimbang, dan
membandingkannya dengan fatwa lain, lalu memilih mana yang dianggap paling
benar. Pekerjaan muttabi’ disebut ittiba’. Muqallid
artinya mengikuti sebuah fatwa apa adanya sebagai hal yang wajib ditaati atau
diikuti, dengan tidak menggunakan pertimbangan rasio dan tidak berusaha
mengetahui sumber fatwa itu dikeluarkan. Pekerjaan muqallid disebut taqlid.
Pekerjaan demikian tercela dalam ajaran Islam karena Islam mengajarkan
penggunaan potensi akal seoptimal mungkin.
Di dalam
melakukan ijtihad, beberapa metode yang bisa digunakan adalah:
1)
Ijma'
artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan hadis dalam suatu perkara yang
terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah
fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
diikuti seluruh umat.[28]
2)
Qiyas adalah menggabungkan atau
menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum
ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Beberapa
definisi qiyâs (analogi), yaitu; (1) menyimpulkan hukum dari yang asal
menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya. (2)
membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan di antaranya. (3) tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada
penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [hadis] dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh). (4) menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu
hal yang belum diterangkan oleh Al-Qur'an dan hadis.[29]Dalam
Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang ternyata
belum ditetapkan pada masa sebelumnya.[30]
3)
Istihsan, yaitu suatu
proses perpindahan dari suatu Qiyas
kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat
atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudaratan
atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika
dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan
jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut
Istihsan, syarak memberikan rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran
di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.[31]
4)
Sududz Dzariah, yaitu menurut
bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan
memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya
adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal
minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan
sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
5)
Urf, yaitu berupa
perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang
sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab
kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.[32]
6)
Istishab, yaitu
melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu
hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang
yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudu atau belum. Di saat seperti ini, ia
harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudu sehingga ia harus berwudu
kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudu.[33]
7)
Mushalat Murshalah,
yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah
perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya,
dalam Alquran maupun hadis tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk
membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam
demi kemaslahatan umat.[34]
C.
KESIMPULAN
Alquran merupakan sumber hukum utama
dan pertama dalam
Islam, hadis merupakan sumber hukum kedua setelah
Alquran, sedangkan Itjihad merupakan dasar hukum ketiga dalam Islam.
Ditinjau dari segi
penafsiran ayat, ayat Alquran terbagi ke dalam dua golongan ayat, yaitu ayat
muhkamat dan ayat mutasyabihat.
Berdasarkan
sah atau tidaknya hadis ,
maka
hadis
terbagi ke dalam tiga jenis.
Metode
dalam pelaksanaan Ijtihad
terbagi ke dalam tujuh metode, yaitu: ijma’, qiyas, istihsan, Sududz Dzariah, urf’, istishab, dan murshalat murshalah.
DAFTAR PUSTAKA
Luis Ma’luf. al-Munjid fi al-Lughah wa al;’Alam, Beirut:
Dar al-Maarif, 1973.
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2013.
A.Hassan. Kitab Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah
Agama, jil 1-2, Bandung:
Diponegoro Bandung, 1968.
Alaiddin Kotto. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2014.
Atang Abd. Hakim
dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam,
Bandung: PTRemaja
Rosdakarya Bandung. 2010.
Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir juz 1
Al-fatihah-Al-Baqarah, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000.
Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir juz 5 An-Nisa 24 s.d
An-Nisa 147, Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2000.
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia,
2008.
Maulana Muhammad
Ali, Islamologi (Dinul Islam), Jakarta
: Darul Kutubil
Islamiyah, 2001.
Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: Rajawali pers,1993.
T.M. Hasbi
Ash-shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu
T. Semarang: PTPustaka
Riski Putra, 2009.
www.id.wikipedia.org/wiki/ijtihad diakses pada 27
Oktober 2014.
[7] Baca buku
Kitab Soal-Jawab 1-2 tentang berbagai masalah agama, karangan A.HASSAN halaman 14-15. Musytarak
adalah perkataan yang dari dasar bahasa memiliki banyak arti dan sama banyak
pemakaiannya, contohnya kata “ain”
berarti mata, diri, mata air, mata-mata. Mutaradif ialah beberapa kata yang
maknanya sama, misalnya kata “dar”
berarti ‘rumah’ sama makna dengan baitun,
manzilun. Muthlaq artinya suatu
lafal yang jika diucapkan akan terkena kepada semua jenis tersebut, tetapi yang
dituju hanya kepada satu atau sebagaian orang aja. Misalnya kata “mu’min” artinya seorang mukmin. ‘Aam artinya
umum, yaitu satu perkataan yang artinya tertuju kepada semua yang ada dalam
satu-satu jenis tanpa kecuali. Contohnya kata “Al-mukminun”. Mujmal yaitu satu susunan yang
mempunyai arti lebih dari satu makna yang penggunaannya sama banyak. Misalnya
dikatakan “usaplah”, maknanya dapat dituju dalam usap sedikit, usap banyak.
Dua-dua makna tersebut penggunaannya sama banyak. Zhahir adalah satu lafal
yang mempunyai dua arti atau lebih, tetapi lebih sering digunakan salah satu
dari dua arti tersebut. Contohnya kata “yadun”
berarti tangan, kekuasaan atau diri, tetapi seringkali artinya tangan.
[22] Hadis ini
digunakan untuk mencari keuntungan semata. Alangkah durhakanya orang yang memalsukan
hadis ini. Padahal firman Allah dalam Alquran yang artinya “Janganlah kamu menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit”.
Orang ini sangat berani memalsukan hadis dengan lidahnya yang maha berani
menelan api, kemudian di aku-akukannya kepada Nabi Muhammad saw. Maka dengan
hati yang terpaksa saya harus mengancam orang itu dengan dalil seperti ini. “Telah berkata Ali bahwa Rasullah saw. pernah
bersabda : Jangan kamu berdusta atas namaku…, karena barangsiapa berdusta atas
namaku, maka hendaklah dia bersedia mengambil tempatnya di neraka”. (H.Sahih
.R : Bukhari, Muslim dan Tirmidhi)
Untuk mendownload versi pdf silahkan klik link biru di sini.
0 komentar:
Posting Komentar